30 Tahun BPR Surya Yudha

SUKSES Bank Perkreditan Rakyat BPR Surya Yudha (BSY)  adalah sebuah fenomena menarik dan penting bagi masyarakat Jawa Tengah. Didirikan pada tanggal 12 April 1992 di pinggiran kota, desa Rejasa, kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara oleh sosok berkarakter kuat Satriyo Yudiarto dengan modal Rp. 120 juta. Kini BSY  telah berkembang menjadi BPR terbesar di Jawa Tengah dengan aset Rp 2,9 trilyun, tersebar di 7 kabupaten di Jateng yang menyerap tenaga kerja sekitar 1600 orang.

Ini sebuah fenomena menarik karena Banjarnegara adalah termasuk kabupaten paling miskin di Propinsi Jawa Tengah,  bahkan indeks pembangunan manusia (IPM) nya nomer tiga dari bawah di atas Pemalang dan Brebes. Nyatanya dari kabupaten “pedalaman” dan miskin yang jauh dari hiruk pikuk industri besar bisa tumbuh dan berkembang lembaga keuangan yang sehat dan kuat. Ketika secara ekologi tidak mendukung namun sebuah entitas bisnis bisa bertumbuh kembang kuat dan pesat,  itu hal yang luar biasa. Pasti ada contributor factor yang dominan. Menurut hemat penulis faktor itu adalah sosok sang pendiri  dan pemilik yang dikenal memiliki tingkat disiplin tinggi.

Sosok Satriyo Yudiarto layak menjadi inspiring kaum muda bahwa sukses dan kaya sejati tidak bisa diraih dengan leha-leha, spekulasi, dan mengandalkan kata semoga. Ia dikenal oleh masyarakat di wilayah Banyumas sebagai sosok yang selain didiplin juga pekerja keras, visioner, dengan gaya hidup yang jauh dari aji mampung dan hobi pamer kekayaan.

Selain menarik, BSY juga sebuah fenomena penting karena sejak berdiri ia mendedikasikan dirinya untuk bermitra dengan segmen pasar usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagaimana taglin kebanggaannya yaitu “Mintra Menjadi Sukses”.  Rekam jejak keberpihakannya terhadap UMKM jelas terlihat ketika program awal keberadaannya memberikan kredit massal kepada para tukang becak yang pada tahun 1990-an menjadi moda transportasi unggulan di Banjarnegara. Setelahnya BPR ini masuk ke pasar pertanian untuk mensuport boming komoditas pertaniaan kentang di dataran tinggi Dieng, serta komoditas salak di Banjarnegara bagian selatan. Setelahnya hampir semua jenis  UMKM menjadi fokus marketing baik sektor perdagangan, industri kecil, dan jasa. Sebuah pilihan dengan  risiko tinggi, namun penuh kemuliaan karena membantu mereka yang termarginalkan oleh sistem ekonomi nasional.

Hambatan, tantangan, silih berganti menerpa BSY  selama tiga dekade menekuni bisnis intermediasi keuangan. Pertama tahun 1998 saat berlangsung krisis moneter, kedua pada tahun 2008 saat ekonomi nasional digoyang oleh imbas jatuhnya Lehman Brothers Holding Incorporation Amerika Serikat. Namun ujian terberat dari bisnis perbankan tetaplah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2020 hingga kini belum sepenuhnya usai.

Apresiasi tinggi layak diberikan kepada  BSY karena di dalam terpaan badai krisis moneter hingga pandemi Covid-19, ia tetap setia dengan pilihannya sebagai partner UMKM. Persentasenya sangat signifikan yakni mencapai 70 % dari seluruh kredit yang disalurkan sebesar Rp 2.3 trilyun. Ini sebuah pilihan yang tidak popular karena banyak BPR yang memilih jalan mudah dengan lebih memilih fokus market kredit pegawai dengan alasan ketakutan dengan risiko non performing loan (NPL) alias kredit macet.

Memang pilihan setia kepada UMKM bukan jalan mudah walaupun ia penuh kemuliaan. Bisnis BPR belakangan digempur oleh faktor eksternal yang semakin lama semakin mendesak dan mengintimidasi. Pertama, masuknya bank umum ke wilayah becek yang selama ini menjadi pasar BPR. Sebutlah kebijakan kredit usaha rakyat (KUR) yang tingkat suku bunganya sangat rendah. Ini benar-benar berpotensi menggerus ceruk pasar BPR.

Kedua, digitalisasi perbankan yang memaksa BPR dengan pasar rural society pun harus memasuki layanan teknologi informasi (TI). Ketiga, sumber daya manusia yang kalah jauh dibandingkan dengan bank umum. Keempat, kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif dengan larangan aparatur sipil negara (ASN) mengambil kredit pegawai di BPR dengan angsuran potong gaji pada bank bayar.

Hal yang terakhir menjadi hikmah besar bagi BSY. Banyak BPR kelimpungan ketika Pemda membuat kebijakan larangan kredit potong gaji ASN  pada BPR lewat bank bayar karena selama ini market ASN menjadi prioritasnya. BSY terhindar dari goyangan itu karena walaupun banyak ASN menjadi nasabahnya, namun pasar prioritasnya adalah UMKM.

Maka tantangan terbesar BSY pada saat memasuki usianya  yang ke 30 pada tanggal 12 April 2022 ini bukan semakin menipisnya pasar ASN, namun seperti semua entitas industri micro financial rasakan, adalah bagaimana lolos dari stress test kualitas kredit pada akhir Maret 2023, saat di mana pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakhiri kebijakan stimulus.

Kita yakin dengan kepemimpinan yang kuat, kemampuan adaptasi yang tinggi, serta pengalamannya yang panjang BSY akan terus memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Lolos dari ujian pandemi akan menjadi momentum untuk terbang lebih tinggi. Harapannya, BSY akan tetap setia dengan pilihan market UMKM dengan layanan yang cepat  diiringi dengan prinsip kemitraan professional.

Dirgahayu BPR Surya Yudha.***

 

Hadi  Supeno, Komisaris Independen PT BPR Surya Yudha Kencana, Banjarnegara.

 

Alamat: Jalan Serulingmas Raya No 45, Banjarnegara 53418

No Telpon/WA: 08112623322